Ikatan itu Bernama Ukhuwah
02.06 | Author: Iky ^_^ Chan
Pada suatu hari, Rasulullah bersabda pada para sahabatnya : “Seorang lelaki menziarahi saudaranya karena Allah. Lalu Allah mengutus malaikat untuk menanyakan, “Hendak kemana kamu?” Ia menjawab, “Aku hendak mengunjungi saudaraku si Fulan.” Malaikat bertanya. “Karena suatu keperluanmu yang ada padanya?” Ia menjawab, “Tidak.” Malaikat bertanya, “Karena kekerabatan antara dirimu dan dia?” Ia menjawab, “Tidak.” Malaikat bertanya, “Karena nikmat yang telah diberikannya padamu?” Ia menjawab, “Tidak.” Malaikat bertanya, “Lalu karena apa?” Ia menjawab, “Aku mencintainya karena Allah.” Malaikat berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutusku untuk menemuimu dan memberitahukan bahwa Dia mencintaimu karena cintamu padanya, dan Dia telah memastikan surga untukmu.” (HR. Muslim).

Akhi-ukhti, sungguh berharga imbalan yang diberikan Allah pada orang-orang yang saling mencintai karena-Nya. Harga itu sangatlah pantas, karena rasa cinta yang berbalut dengan ukhuwah, bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Ukhuwah tidak sesederhana yang sering dipoleskan dalam aktivitas dakwah kita selama ini.

Akhi-ukhti, ada baiknya kita kaji sejenak, bagaimana seseorang dengan seorang yang lainnya berada dalam satu ikatan bernama ukhuwah.

Pertama, berkaitan dengan harta. Persaudaraan antara dua orang menuntut adanya empati dalam kesusahan dan kesenangan, partisipasi dalam urusan dunia dan akhirat, dan lenyapnya ‘privasi’ dan egoisme. Mereka mencampur harta mereka tanpa membedakan sebagiannya dari sebagian yang lain. Akan sangat dipertanyakan, jika mereka masih mengatakan, ‘Sandalku’, karena ia masih menyebutkan dirinya yang memiliki barang itu. Ali bin al-Husain ra berkata pada seseorang, “Apakah salah seorang diantara kamu memasukkan tangannya ke dalam kantong saudaranya lalu mengambil apa yang diinginkannya tanpa seijinnya?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Ali bin al-Husain berkata, “Kalau begitu, kalian bukanlah orang-orang yang bersaudara.” Oleh karena itu infaq kepada saudaranya lebih utama daripada shodaqoh pada fakir miskin. Ali pernah berkata, “Sungguh, duapuluh diram yang aku berikan kepada saudaraku karena Allah lebih aku sukai ketimbang aku bershadaqah seratus dirham kepada fakir miskin.”

Kedua, berkaitan dengan memberi bantuan dengan jiwa dibanding kebutuhan sendiri. Tingkatan yang paling rendah adalah, memenuhi permintaan pada saat diminta dan ketika dia mampu maka disertai dengan wajah yang berseri-seri dan menunjukkan rasa senang. Pada tingkatan tertinggi, seorang saudara akan berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya, sehingga tidak sampai meminta-minta dan menampakkan keperluannya akan bantuan. Kemudian berusaha menambah, mengutamakan dan mendahulukannya ketimbang kerabat dan anak-anak. Al Hasan pernah berkata, “Saudara kami lebih kami cintai ketimbang keluarga dan anak-anak kami. Karena keluarga mengingatkan kami kepada dunia, sedangkan saudara mengingatkan kami pada akhirat.”

Ketiga, berkaitan dengan lidah yaitu diam. Diam yang dimaksudkan adalah tidak menyebutkan aibnya ketika saudaranya tidak ada dihadapannya tapi melupakannya, tidak mencari tahu dan menanyakan tentang keadaannya karena ia berkeberatan untuk menyebutkannya atau perlu berdusta untuk menjelaskannya, tidak mengungkapkan rahasianya sekalipun telah terputus dan tidak akrab lagi, tidak mencela orang-orang yang dicintainya, tidak menceritakan celaan orang lain terhadap dirinya. Sebagaimana harus diam tidak menyebutkan keburukan saudara dengan lidah, demikian pula harus diam, tidak menyebutkannya dengan hati, yaitu prasangka buruk padanya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan, “Janganlah kalian mencari-cari, janganlah kalian memata-matai, dan janganlah kalian saling memutusan hubungan, janganlah kalian saling membuat makar, dan jadilah kalian hamba-hamba yang bersaudara.” Ketahuilah Akhi-ukhti, bahwa persaudaraan itu dilakukan dengan adaptasi dalam ucapan, perbuatan dan kepedulian.

Keempat, berkenaan dengan lidah yakni mengungkapkan. Ukhuwah, sebagaimana mengharuskan diam untuk tidak mengungkapkan hal-hal yang disukai, juga mengharuskan pengungkapan hal-hal yang dicintai, agar bisa diambil pelajaran darinya. Sebab arti ukhuwah adalah ikut serta dalam merasakan kegembiraan dan kesulitan. Saling mencintai di kalangan orang-orang beriman merupakan tuntutan syari’at dan sangat dicintai agama. Dan megungkapkan rasa cinta ini pada saudara merupakan perintah dari Rasulullah. Demikian pula menolak celaan yang diberikan pada saudara kita adalah wajib dalam akad ukhuwah. Mujahid berkata, "Janganlah kamu menyebut saudaramu disaat tidak ada di hadapanmu kecuali sebagaimana kamu ingin dia menyebutmu di saat kamu tidak ada dihadapannya.”

Kelima, memaafkan kekeliruan. Kekeliruan yang dilakukan oleh saudara, tidak terlepas dari dua hal : berkaitan dengan agamanya yaitu dengan melakukan kemasiatan. Maka kita harus menasehatinya dengan lemah lembut sehingga meluruskan dan mengembalikannya ke jalan yang benar. Diceritakan bahwa salah seorang dari dua orang salaf yang bersaudara menyimpang dari garis istiqomah, lalu dikatakan pada saudaranya, “Mengapa kamu tidak memutus hubungan dan menjauhinya?”. Ia menjawab, “Ia lebih memerlukan diriku pada saat seperti ini. Ketika dia tergelincir, aku harus mengambil tangannya, menegurnya dengan lemah lembut dan mengajaknya kembali pada keadaannya semula.” Adapun yang kedua, berkenaan dengan kurangnya dalam memenuhi hak ukhuwah, sehingga menimbulkan kekurangsenangan. Dan hal utama yang perlu dilakukan adalah mema’afkan dan bersabar. Bersabar atas tindakan yang menyakitkan dari seorang saudara adalah lebih baik ketimbang mencelanya, dan mencelanya lebih baik ketimbang memutusnya, dan memutusnya lebih baik ketimbang memusuhinya. Allah berfirman, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih saying antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi diantara mereka.” (al-Mumtahanah: 7)

Keenam, mendo’akan. Mendo’akan saudara semasa hidupnya dan sesudah kematiannya dengan segala apa yang dicintainya untuk diri, keluarga, dan semua hal yang berkaitan dengan dirinya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Doa seseorang untuk saudaranya dalam kejauhan tidak tertolak.”

Ketujuh, setia dan ikhlas. Setia maksudnya adalah mencintai hengga kematiannya, karena cinta itu dimaksudkan untuk akhirat . Termasuk kesetiaan adalah menghargai semua anak-anak, kerabat, teman dan orang-orang yang terkait dengannya. Termasuk kesetiaan adalah bertawadhu’ kepada saudaranya meskipun kedudukannya lebih tinggi, tidak memperdengarkan berbagai pemberitaan orang kepada saudaranya, tidak berteman dengan musuh temannya.

Kedelapan, meringankan dan tidak memberatkan. Yaitu tidak membebani saudaranya dengan sesuatu yang menyulitkannya, tetapi meringankan berbagai beban dan kebutuhannya. Tidak meminta uluran harta dan kedudukan darinya.Memperhatikan keadaannya dan melaksanakan hak-haknya, bahkan cintanya tidak dimaksudkan kecuali karena Allah dengan mengharap keberkahan do’anya, rasa senang bertemu dengannya, dukungan terhadap agamanya dan taqarrub kepada Allah dengan menunaikan hak-haknya. Ali ra berkata, “Seburuk-buruk teman adalah yang membebani dirimu, membuat dirimu merasa perlu untuk berbaik-baikan dan mendesakmu untuk meminta maaf.” Ditanyakan kepada sebagian mereka, “Dengan siapakah kami harus bersahabat?” Dijawab, “Orang yang meringankan bebanmu dan meniadakan ganjalan formalitas antara dirimu dan dirinya.” Apabila seseorang telah melakukan empat hal di rumah saudaranya, maka telah sempurnalah keakrabannya, yaitu apabila makan di sisinya, masuk kamar mandi, shalat dan tidur.

Akhi-ukhti, itulah sejumlah hak persahabatan yang perlu dilaksanakan dalam sebuah ikatan ukhuwah. Hal itu tidak akan sempurna kecuali jika kita mengutamakan hak-hak itu untuk saudara ketimbang diri sendiri. Berkaitan dengan mata, maka kita harus memandang mereka dengan kasih sayang, memandang kebaikan dan menutup mata dari aib mereka, tidak memalingkan pandangan saat kedatangan dan pembicaraan dengan mereka. Berkaitan dengan pendengaran, kita harus mendengarkan mereka dengan penuh kenikmatan, membenarkannya, menampakkan rasa gembira, tidak memotong pembicaraan dengan bantahan, tidak menentang dan menyanggahnya. Berkaitan dengan lidah, telah disebutkan pada hak-hak diatas. Berkaitan dengan kedua tangan, maka membantu mereka dalam setiap hal yang harus dilakukan dengan tangan. Berkaitan dengan kedua kaki, maka berjalan dibelakang mereka, tidak mendahului kecuali dipersilahkan, tidak duduk kecuali bersamaan dengan mereka.

Akhi-ukhti, jika telah tercapai kesatuan maka terasa ringan untuk mengemban hak-hak ini. Dan semua yang kita lakukan adalah cermin adab-adab batin dan kejernihan hati. Sehingga ia tidak perlu memaksa diri menampakkan apa yang ada di dalamnya. Siapa yang pandangannya terarah kepada persahabatan makhluk maka terkadang bengkok dan terkadang lurus. Tetapi siapa yang pandangannya terarah kepada pencipta maka akan selalu istiqomah zhahir dan batin. Ia akan menghiasi batinnya dengan cinta kepada Allah dan makhluknya dan menghiasi zhahirnya dengan ibadah kepada Allah dan melayani makhluknya, karena ia merupakan bentuk pelayanan kepada Allah.

Akhi-ukhti, menghidupkan nilai ukhuwah adalah jalan pertama untuk terjadinya saling tolong menolong atas dasar ketaqwaan kepada Allah. Oleh karena itu marilah kita berusaha untuk mengikatkan hati-hati kita dalam ukhuwah yang indah dan diridhoi olehNya.

Diambil dari Buku : Mensucikan Jiwa (Said Hawwa) dan Fiqh Ukhuwah (DR. Abdul Halim Mahmud)
This entry was posted on 02.06 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: